SERAUNG POST, RIAU – Skandal agraria yang menyelimuti kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, menguak jaringan kejahatan lingkungan, mafia tanah, serta dugaan keterlibatan oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pejabat desa hingga kabupaten. Investigasi Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) menunjukkan bahwa praktik ilegal ini berpotensi merugikan negara hingga Rp10 kuadriliun, menjadikannya dugaan korupsi terbesar sepanjang sejarah Indonesia.(20/06)
Fakta mengerikan : Ribuan Sertifikat Ilegal diterbitkan dalam hutan lindung.
Dalam rapat Satgas PKH yang digelar di Kejaksaan Agung RI pada Jumat, 13 Juni 2025, Jaksa Agung ST Burhanuddin membeberkan kondisi kerusakan yang sangat parah di TNTN.
“Kerusakan ini akibat perambahan liar yang terorganisir. Dari total 81.793 hektare kawasan TNTN, hanya tersisa sekitar 12.561 hektare yang masih berupa hutan alami. Kami juga menemukan SKT, KTP, dan SHM palsu yang digunakan untuk mengklaim lahan dalam kawasan konservasi,” tegas Burhanuddin.
Burhanuddin menyebut hal ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan sudah mengarah ke kejahatan lingkungan dan korupsi berlapis. la menegaskan, aparat negara yang terlibat harus diusut secara menyeluruh.
Pecahnya Fakta: 1.805 SHM Ilegal dan Dugaan Pungli Terstruktur
Brigjen TNI Dody Triwinarto, Wakil Komandan Satgas PKH, menambahkan bahwa pihaknya menemukan 1.805 Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diduga diterbitkan secara ilegal di dalam kawasan TNTN.
“Kami menemukan bukti kuat bahwa SKT dan KTP domisili palsu diterbitkan oleh pemerintah desa dan kabupaten sebagai dasar pembuatan SHM. Bahkan, dugaan pungli terstruktur juga mencuat dalam proses ini,” ujar Dody.
la menjelaskan, 60% penguasaan lahan dilakukan oleh warga pendatang dari luar Provinsi Riau, 30% dari luar Kabupaten Pelalawan, dan hanya 10% oleh warga lokal.
Kerugian Negara: Ditaksir Capai Rp10 Kuadriliun
Perhitungan kasar para ekonom lingkungan dan kehutanan menyebutkan bahwa kerugian negara mencakup:
Nilai ekonomi lahan dan sawit ilegal
Nilai ekologis atas kerusakan hutan tropis
Biaya pemulihan (reklamasi, konservasi, reforestasi)
Potensi kehilangan biodiversitas, termasuk satwa endemik seperti gajah dan harimau Sumatera
Total nilai kerugian bisa mencapai lebih dari Rp10 kuadriliun, menjadikan skandal ini lebih besar dari kasus BLBI, Asabri, dan Jiwasraya jika digabungkan.apakah mencapai angka segitu, Redaksi tak tau pasti.
Beberapa pihak seperti Wendri Simbolon dan Abdul Aziz mencoba memutarbalikkan fakta dengan menyebut penguasaan lahan sebagai “hak bertani turun temurun”. Namun narasi ini dibantah keras oleh tokoh adat dan masyarakat sipil Riau.
“Sudah saatnya negara tegas. Jangan biarkan mafia tanah merampok hutan negara pakai SHM bodong. Ini bentuk kolonialisasi gaya baru oleh elite yang main belakang,” ujar Tengku Said Harun, budayawan Melayu.
“Kalau ini dibiarkan, anak cucu kita kehilangan paru-paru alam. Kami mendukung aparat hukum bersihkan hutan dari korporasi rakus dan calo tanah,” tambah Nuraini Salim, aktivis perempuan dan pengajar kehutanan di Pekanbaru.
Skandal ini mengindikasikan pelanggaran serius terhadap sejumlah pasal dalam hukum negara, Praktisi hukum Susi SH.MH saat diminta pendapat oleh awak media di Pekanbaru sebutkan pelanggaran atas kasus TNTN antara lain:
1. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pasal 50 ayat (3): Melarang kegiatan dalam kawasan hutan tanpa izin
Pasal 78 ayat (2): Ancaman pidana hingga 10 tahun dan denda Rp5 miliar
2. UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Pasal 17 dan Pasal 19: Larangan membuka lahan dalam kawasan konservasi
Pasal 94 ayat (1): Ancaman pidana 15 tahun dan denda Rp10 miliar bagi pelaku dan korporasi
3. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 2 dan 3: Kerugian keuangan negara melalui penyalahgunaan wewenang
Sumber : mataxpost.com
Tinggalkan Balasan