SERAUNGPOST, KALIMANTAN UTARA – Memasuki usianya yang ke – 13 tahun, Provinsi Kalimantan Utara, diharapkan lebih mandiri serta memiliki tekad dan semangat dalam pembangunan infrastruktur untuk kesejahteraan perekonomian seperti yang diharapkan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Kalimantan Utara yang terdiri dari 4 (empat) Kabupaten dan 1 (satu) Kota , yakni Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kota Madya Tarakan, memiliki SDA (Sumber daya alam) yang melimpah. Meski masih menyandang sebagai predikat 3 T (Tertinggal, Terdalam, dan Terluar).
Bastian Lubis selaku pemerhati keuangan daerah, saat dihubungi melalui pesan whatsap kepada awak media mengatakan, Kemajuan Provinsi baru umumnya terletak pada kebijakan fiskal dan pengelolaan keuangannya, struktur APBD (anggaran pendapatan belanja daerah) disetiap Pemerintah Daerah sangatlah strategis dalam memajukan perekonomian suatu daerah. Dalam rekapitulasi Struktur APBD seluruh Pemda tahun anggaran 2025 Pendapatan Daerah sebesar Rp.11.466,35M. Terdiri dari, Pendapatan Asli Daerah sebesar Rp.1.787,16 M, Pendapatan Transfer dari Pemerintah Pusat sebesar Rp.9.316,23 M.
“Melihat komposisi pendapatan tersebut, masih dominannya ketergantungan pemerintah daerah di Kaltara pada transfer dana dari pemerintah pusat berkisar 80.81 %, disisi Anggaran Belanja Daerah sebesar Rp.13.158,72M per tanggal 27 Juni 2025 baru terealisasi sebesar Rp2.283,09M atau 17,35% dari total belanja, kalau satu semester atau 6 bulan realisasinya dibawah normal 35 % sd 45 % dari anggaran yang tersedia, ini sangat memprihatinkan bagi pembangunan dan perekonomian masyarakat”, jelasnya.
Lebih lanjut Bastian mengatakan, ketersediaan anggaran belanja pegawai sangat besar, yakni Rp. 4.473,00 M, dan baru terealisasi sebesar Rp.1.311,06 M atau 29,31 %. Namun masih banyak yang disimpan, karena kalau untuk dicanangkan paling tinggi hanya 5% saja. Jadi baiknya belanja pegawai dioptimalkan karena masih banyak Pegawai honorer yg dibayar dibawah UMR seperti, petugas kebersihan, satpam dan sopir.
Menurutnya, anggaran belanja barang dan jasa dari Rp.3.751,97 M, baru terealisasi sebesar Rp.517,91 M atau 14,18%, yang berdampak pada berkurang atau hilangnya aktifitas perniagaan, serta transaksi perdagangan, dan kurangnya peningkatan pada UMKM, serta rendahnya daya beli di masyarakat. Sedangkan Anggaran yang tersedia pada belanja modal sebesar Rp.2.666,43 M dan yang terealisasi sebesar Rp.34,24 M atau 1,28 %.
“Hal ini dapat dikatakan bahwa selama semester pertama tahun 2025 di Kaltara, hampir tidak ada pembangunan infrastruktur yang berarti, karena realisasi anggarannya tidak ada”, ucapnya.
Kontraktor atau penyedia barang dan jasa tidak bisa berbuat apa-apa, sehingga tidak dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat, sehingga berdampak pada perekonomian yang tidak sehat, sementara pengeluaran belanja modal di semester dua sangatlah riskan karena pada bulan September, keadaan cuaca yang biasanya memasuki musim penghujan, yang dapat mengganggu pekerjaan pisik yang akhirnya terjadi penguluran waktu kontrak untuk diperpanjang, sehingga anggarannya akan menyeberang ketahun 2026, lalu disalahkan adalah iklim, padahal yang salah adalah bendahara umum daerah yang bekerja tidak sejalan dengan SKPD/OPD tekhnis.
Dari segi realisasi anggaran hal ini sangatlah tidak sehat karena semester satu sudah selesai, tapi sangat minim realisasinya. Hal ini berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi daerah, yang sangat terdampak adalah masyarakat non ASN, karena tidak ada lapangan pekerjaan, naiknya pengangguran, kurangnya transaksi bisnis berjalan. Perlambatan ekonomi dapat dibandingkan antara tahun lalu 2024 tingkat pertumbuhan ekonomi kaltara sebesar 4,66 % tapi saat ini tinggal 4,06 % sedangkan pertumbuhan nasional mencapai 4,87%.
Dengan ditahannya pengeluaran belanja daerah adalah kebijakan yang tidak pro rakyat karena pengeluaran anggaran daerah yang berasal dari belanja daerah akan berdampak luas pada aktifitas ekonomi masyarakat, kurangnya lapangan kerja yang tersedia serta lemahnya daya beli dimasyarakat.
“Kalau kita perhatikan sisa anggaran lebihnya dalam APBD setiap tahunnya sangatlah signifikan besarnya, seperti SAL tahun 2024 lalu adalah sebesar Rp1.919,38 M, ini adalah jumlah yang sangat fantastis. “bagaimana bisa pembangunan ekonomi di daerah bisa maju dan berkembang, kalau pemdanya masih lebih suka simpan uang daerah dalam deposito dan mengharap bunganya dibandingkan dengan mendistribusikannya pada masyarakat yang akan mempunyai dampak multiflayer efek ekonomi dimasyarakat”, pungkasnya. (**)
Tinggalkan Balasan